Beberapa waktu
lalu, saya dihubungi alumni mushalla di rumah saya untuk berdiskusi membahas
pembentukan komunitas alumni mushalla Anwarul Falah. Mereka bermaksud membentuk
komunitas dan akan dilegalkan dalam sebuah acara halal bihalal.
Secara pribadi
saya menyambut baik ide mereka untuk membangun komunitas alumni dan berhalal
bihalal. Saya jadi teringat pada fenomena beberapa waktu yang lalu ketika ada
mahasiswa yang meananyakan ke saya tentang halal bihalal. Dia menanyakan
seputar sejarah dan bagaimana implementasinya pada saat ini, khususnya di masyarakat
kita.
Dalam diskusi
dengan teman-teman alumni itu saya hanyamenyampaikan bahwa halal bihalal ini
murni budaya bangsa kita. Artinya, bisa dipahami bahwa dalam konteks
sejarahnya, sebenarnya cikal bakal halal bihalal ini ada dalam Babad Cirebon (1700-an),
abad ke-18. Saat itu ada istilah 'pisowanan'
(sowan untuk sungkeman) di Praja
Mangkunegaran Surakarta. Sebagaimana yang disampaikan seorang antropolog UIN Sunan
Klijaga Yogyakarta, Mohammad Suhada bahwa Raden Mas Arya Mangkunegara 1
mengumpulkan bawahan dan prajurit untuk sungkeman kepada raja dan permaisuri.
Dalam konteks
yang lain, dikisahkan bahwa sekitar tahun 1935-1956 ada kebiasaan pedagang
martabak asal India di Taman Sriwedari Solo, yang ketika malam idul Fitri
selalu menyebut halal bin halal untu menawarkan martabaknya kepada pembeli.
Akhirnya, kebiasaan bahasa halal bin halal inilah yang diikuti oleh para
pembeli dan masyarakat sekitarnya.
Tetapi, yang
sangat memungkinkan untuk dijadikan patokan bahasa halal bihalal ini
dilegendakan oleh bangsa ini adalah ketika tahun 1948, KH. A. Wahab Hasbullah,
dimintai saran oleh Bung Karno dalam rangka menyelesaikan fenomena politik
kebangsaan saat itu. KH Wahab menyarankan ada silaturrahim antar petinggi
partai. Namun, bahas asilaturrahim ternyata diangap sesuatu yang lumrh oleh
Bung Karno. Akhirnya, ada ide dari KH. Wahab Hasbullah untuk memberikan nama
halal bihalal untuk acara silaturrahim yang akan dilaksanakan itu. Sejak saat
itu, bahasa halal bihalal menjadi popular dan membudaya di kalangan masyarakat.
Mengapa halal
bihalal? Bahwa istilah halal ini berasal dari bahasa halla yahullu hallan yg artinya terurai. Artinya acara ini menjadi
media untuk mengurai kekusutan hubungan persaudaraan dengan saling memaafkan.
Nah, agenda ini akan selalu identik dengan hari raya idul fitri. Artinya, bahwa
momentum idul fitri ini memiliki korelasi dengan kembali ke fitrah. Untuk itu,
kembali ke fitrah itu perlu dibangun dengan membangun kemaslahatan secara
individu dengan Allah dan kemaslahatan sosial dengan sesama kita. Artinya,
dalam halal bihalal itu sendiri ada spirit silaturrahim dan humanisme.
Dalam konteks
ini, maka pemaknaan halal bihalal ini bisa dikaji dalam berbagai perspektif.
Secara fiqh, makna halal bihalal adalah membebaskan dari dosa dengan
bermaaf-maafan. Secara linguistik, halla/halala
bermakna menyelesaikan problem, meluruskan benang kusut, atau menyambungkan
hubungan yang terputus. Secara Qur'ani, istilah halal akan korelatif dengan
tayyib: berhalal yang tayyib. Maknanya, yang baik dan menyenangkan bagi semua
pihak; kemaslahatan sesama.
Jadi, fenomena
halal bihalal ini memang membangun spirit kemanusiaan dalam rangka
menyempurnakan kesalehan individual kita dengan kesalehan sosial. Keseimbangan
kesalehan ini adalah niscaya.
Sementara itu, dalam konteks
komunitas alumni, saya hanya menegaskan secara eksplisit bahwa menyambungkan sanad dan batin dengan guru alif itu
adalah penting. Saya teringat apa yang disampaikan KH. Marzuki Mustamar, bahwa
jangan sekali-kali karena mengenal ustadz di medsos kemudian melupakan guru
Alif. Bahkan menurut Gus Suhaimi Al Baghdadi, bahwa melupakan guru alif; guru
tulang, berarti menutup keberkahan rezeki dan kehidupannya.
Melupakan guru
alif, berarti durhaka kepada orang tua, karena guru adalah orang tua yang
mengajarkan keilmuan dan menguatkan ruhani kita. Merekalah yang mengenalkan
kita dengan huruf-huruf dalam Alqur’an. Mengenal huruf-huruf yang menjadi
sumber kebaikan dan pahala dam kehidupan kita. Sekali lagi, bahwa melupakan
mereka adalah sebuah kedurhakaan. Naudzubillah!
Penulis: Abd. Kadir
Dosen Pascasarjana Institut Kariman Widayudha (INKADHA) Sumenep
2 Comments
Masyaallah..kereen...
ReplyDeletekerenn
ReplyDelete