Oleh: Elen's
Adzan ashar baru saja berkumandang, panas mentari tak lagi seterik tadi siang. Beberapa tamu masih berdatangan, mau tak mau tuan rumah masih harus menyambutnya dengan senang. Di dapur, beberapa orang tengah sibuk menyiapkan suguhan dan bingkisan untuk undangan walimah nanti malam. Meski hanya seporsi nasi dengan sepotong daging ayam dan mie instan, cukup membuat kami kewalahan karena harus menyiapkan untuk dua ratus orang. Belum lagi bingkisan untuk ibu-ibu yang datang.
Acara tujuh bulanan, memang kerap mengundang banyak orang, apalagi untuk orang mampu seperti ibu Hajjah Maimunah ini. Beliau orang terpandang, dan cukup beruang. Sebagai tetangga yang memiliki rumah tepat di sebelah rumah besarnya, aku juga turut 'rewang' dengan banyak tetangga yang lain. Aku tak bisa menghitung berapa jumlah tetangga yang turut membantu, terlebih karena dapur Bu hajjah ini sangat luas, belum lagi teras belakang yang juga disulap jadi dapur dadakan.
Beberapa orang sedang membungkus kue, sebagian lagi masih membuat kue tambahan karena jumlah tamu yang diluar perkiraan, kue nyaris habis sebelum acara selesai.
Dalam setiap kerumunan ibu-ibu ini, tak akan lepas dari obrolan-obrolan tak penting, sekedar membuat suasana menjadi nyaman, pun menambah keakraban. Ada yang membahas harga cabai yang masih sulit dijangkau, ada yang membahas harga daging ikan yang semakin meroket, ada pula yang membahas tetangga masing-masing.
Ah, dunia per-emak-an memang tak jauh dari perbincangan seperti ini, bukan?
"Yang rewang banyak banget, ya? Tamunya juga," ucap Bu Siti setelah menatap sekeliling ruangan.
"Ya, wajar. Bu Hajjah ini kan Loman ke tetangga. Dia gak pelit meskipun kaya. Kalau ada tetangga yang hajatan, dia pasti nyumbang semampunya. Apalagi kalau tetangganya kena musibah, dia menjadi orang pertama yang takziyah. Baik memang orangnya ... Belum lagi banyak kenalannya."
Semua yang Bu suri katakan memang benar, Bu Hajjah Maimunah memang sedermawan itu. Belum lagi, dia sering bagi-bagi rejeki pada tetangga yang ikut membantu, mungkin juga ini yang menjadi daya tarik utama bagi para tetangga jauh yang ikut rewang.
"Eh, tetangga baru itu dokter, ya? Tapi kok gak pernah liat dia nyuntik orang?" Tanya seseorang diantara satu kerumunan. Tanpa menoleh pun aku tahu, itu suara Bu Lasmi.
"Iya, katanya kerja di rumah sakit. Berati kan dokter." Timpal yang lain.
"Ya gak mesti lah. Di rumah sakit juga ada tukang sapunya." Tawa mereka meledak serentak.
Ada-ada saja.
"Liat Bu Khadijah gak?"
"Gak ada. Dia gak keluaran."
"Padahal dekat sama Bu Maimunah, kok gak ikut rewang ya?"
"Iya, ya ... Padahal cuma berjarak satu rumah. Sibuk apa sih?"
"Sibuk main HP." Lagi-lagi mereka tertawa. Kami semua tahu, Bu Khadijah memang terlihat sering memegang HP, entah berbisnis, entah bekerja. Bagi ibu-ibu gaptek seperti mereka, HP adalah barang mainan, seperti anak-anak yang suka main game dari gawai, begitu pikir mereka. Ingin menjelaskan, tapi nanti urusan jadi panjang. Aku memang cenderung memilih diam ketika sedang berkumpul dengan ibu-ibu, dalam acara seperti ini. Salah sedikit saja, bisa jadi gunjingan orang sekampung.
Begitulah kodratnya. Tak ada yang terlihat sempurna di mata manusia. Benar saja masih menjadi bahan ghibah, apalagi kalau jelas salah, salah versi mereka.
Dari pintu samping, nampak Bu Marni membawa senampan kue dari ruang sebelah. Kue itu sudah dibungkus rapi dan siap dimasukkan dalam kotak saji.
"Bu Marni rewang di sini juga?" Tanya seorang ibu bertubuh tambun, dia biasa di panggil Bu Gatot karena anak pertamanya bernama Gatot. Entah siapa nama aslinya.
"Ya iyalah. Kan masih saudara Bu Maimunah," jawab yang lain tanpa diminta.
"Bu Marni, kenapa kemarin gak rewang di rumah saya pas ibu meninggal? Padahal saya rewang di rumah jenengan waktu hajatan, pernikahan si Dandi itu. Masih ingat kan?"
Bu Marni nampak tercengang seketika, wajahnya yang semula riang berubah pias, antara terkejut dan menahan malu bersamaan. Suasana yang tadinya gaduh mendadak sepi. Seolah menunggu apa yang akan terjadi.
Bu Marni menarik nafas dalam, seolah berusaha menguasai diri sendiri.
"Kemarin saya sedang banyak pesanan kue, yang pesan sudah sejak dua Minggu sebelumnya. Ya gak mungkin saya gagalkan. Beda dengan ibu jenengan yang mau meninggal gak bilang duluan."
Beberapa orang berbisik-bisik riuh redam, sebagian lagi mulai tak peduli.
"Lagi pula, saya punya utang tiga hari kan? Kok malah minta ganti rewang seminggu. Dipikir saya ini gak ada kerjaan apa!." Jawabnya ketus sambil berlalu, kembali ke ruang sebelah.
Bu Gatot diam, sekarang wajahnya yang terlihat pias. Tapi tak lama, karena sejurus kemudian dia menguasai keadaan. Setelah Bu Marni menghilang di balik pintu, dia mencibir lalu bergumam jelas, "ya masa' gak bisa rewang walau cuma sehari. Namanya sudah pernah dibantu, harus mau membantu. Jangan sok sibuk begitu. Iya kan, Bu?" Dia meminta persetujuan pada ibu-ibu di sebelahnya, yang ditanya hanya tersenyum saja.
"Woy, tamu dari komplek sebelah datang, rombongan. Buruan siapin nasinya." Bu Rohma berucap keras, mengembalikan kami pada kesibukan sesungguhnya. Suasana pun kembali riuh seperti semula.
Sebagian orang menganggap rewang adalah hutang Budi, yang mau tak mau harus dibalas lunas. Bahkan, tak jarang tuan rumah juga harus memberi upah. Mereka rewang bukan atas dasar saling membantu tetangga, sebagaimana mestinya. Membantu jika mampu, menolong jika mau, bergotong royong jika sempat. Karena sejatinya, setiap kita memiliki kesibukan yang orang lain tak harus tahu.
Aku hanya tersenyum dengan kejadian itu, mengingat aku sangat paham, siapa Bu Marni. Rumah kami bersebelahan, tak jarang kami berkumpul di teras depan untuk berbincang. Atau menghadiri acara hajatan tetangga bersama.
"Bu, hari ini pak Rudi hajatan, menikahkan anak ketiganya. Jam berapa kita kesana?" Tanyaku waktu itu.
Bu Marni hanya diam, seolah menimbang sesuatu.
"Gak usah lah, Bu. Toh dia gak datang waktu saya hajatan. Berarti saya gak punya utang."
Aku diam, dan memilih datang sendirian.
"Dengar kabar kan? Ibunya Bu Wati meninggal. Kita takziyah kapan?"
"Bu Wati dusun sebelah itu ya?"
"Iya. Sekarang tiga harinya."
Dia diam, lagi. Seolah mengingat sesuatu.
"Emangnya ada Bu Wati kesini ya kalau saya ada acara? Mulai khitan si Fadil, nikahin si Dandi, bahkan sampai bapak meninggal? Gak ada kan?"
Aku menelan ludah.
"Bu, tetangga baru ngadain syukuran, khitanan anaknya. Mau kesana jam berapa?"
"Loh? Katanya gak rame-rame, gak ngundang orang banyak?"
"Iya, tapi kan dekat kita ... Gak enak kalau gak kesana."
"Gak usah lah, Bu. Orang baru juga. Kita belum tahu dia itu gimana ke tetangga. Katanya kan gak rame, anggap saja saya gak dengar kabar."
Aku mengelus dada sendiri.
Sejatinya, semua yang kita terima, tidak akan jauh dari apa yang sudah kita berikan.
Seperti kata orang-orang, sesuai amal perbuatan.
Elen's adalah nama pena dari Lilik Nur Indah Sari, anggota Komunitas Kata Bintang yang berdomisili di Jember ini suka sekali dengan cerpen. tulisan-tulisannya yang renyah bisa Anda intip di blog pribadinya di sini
0 Comments