Pagi yang cerah. Mataku nanar
menatap sepasang burung love bird milik Harja, anak bungsu dari tiga buah hati
yang kupunya. Burung tersebut terbang di sangkarnya, seakan ikut merasakan
kegalauan hatiku. Suara celotehan beberapa rombongan kecil para tetangga yang
mau berangkat ke sawah riuh rendah terdengar. Sapaan mereka, aku jawab
seadanya. Hari ini aku membutuhkan uang tigaratus ribu untuk membayar sisa uang
semester Harja.
“Ya Allah, bantulah hambaMu yang
lemah ini.
Doa yang selalu ku panjatkan setiap pembayaran semester
mendekati hari terakhir. Sebagai perempuan sederhana yang tidak mengenyam
bangku sekolah, aku ingin ketiga anak-laki-laki yang kusayangi menyelesaikan sekolah mereka.
Cukup ibunya saja yang tergerus oleh zaman.
Saleh, si sulung telah menjadi sarjana pertanian, lulus
sekolah pada umur 35 tahun. Bukan karena dia bodoh, tetapi dia mengumpulkan
sedikit demi sedikit rupiah, hasil dari menanam cabe rawit dan upah menggiling
padi. Saleh tidak malu menjadi mahasiswa belajar dengan pemuda lain yang
umurnya jauh di bawahnya. Tentu saja gelar kesarjanaannya tidak dapat dipakai
untuk melamar kerja. Umur Saleh telah cukup dewasa untuk melamar pekerjaan.
Tidak mungkin bersaing dengan lulusan sarjana yang lebih fresh.
“Aku hanya ingin menuntut ilmu, Mak,” Kata Saleh waktu itu. Saat aku mempertanyakan keputusannya untuk
kuliah.
“Aku ingin tahu, bagaimana sih rasanya
kuliah. Agar lebih mengerti kebutuhan anak
nantinya. Restui aku ya, Mak.” Air mata mengalir di pipi yang
mulai keriput ini. Hati yang terluka melihat Saleh punya keinginan semulia itu.
Aku sebagai ibunya merasa tidak berdaya
menghadapi himpitan ekonomi yang semakin berat.
Hal yang sama terjadi pada Edi, anakku yang kedua. Keinginan besarnya
untuk sukses dia salurkan lewat bermain voli. Harapannya untuk prestasi
puncaknya adalah pihak pemerintah daerah akan meliriknya. Minimal menjadi
pegawai honorer di instansi milik pemerintah. Motivasi yang berusaha kubantu dengan sekuat tenaga. Sebagai
perempuan yang berprofesi sebagai tukang pijat urat, berharap bahwa ada
pelanggan berkedudukan penting yang akan menolong Edi. Membukakan jalan menjadi
pegawai walaupun hanya honorer. Harapan yang sedikit terkabul. Edi menjadi
pegawai penarik karcis di sebuah instansi pemerintah. Hal itu cukup membahagiakanku.
Bukankah rezeki akan ditambah olehNya bila kita pandai bersyukur? Menjadi
pegawai honorer pada zaman ini cukup sulit, apalagi bagi seseorang yang tidak
mempunyai ijasah sarjana.
“Mak…Mak Yeye.” Terdengar sebuah panggilan yang
cukup keras sehingga membuyarkan semua lamunanku.
“Ada apa Siti?” Tanyaku sambil
menyorongkan kayu pada tungku masak yang mulai padam.
Siti tergopoh-gopoh sambil
menggendong anaknya, “Mau memijatkan Ayu, Mak. Kemarin
malam dia terjatuh saat bersepeda ke tempak Ustadz Sahra untuk mengaji,” kata Siti dengan khawatir.
“Kenapa tidak dibawa tadi malam Siti? Nanti
terlambat, lho. Urat yang terkilir akan semakin sakit saat dipijat
bila sudah agak lama.”
“Mak, lupa ya? Kemarin malam kan
malam jumat, Mak?” Aku menghela nafas panjang. Malam Selasa dan malam Jumat
adalah larangan bagi tukang pijat atau dukun pijat untuk menerima pasien dan
pelanggan. Apabila larangan ini dilanggar, maka menurut kepercayaan turun
menurun, tukang pijat akan sakit semua anggota badannya.
“Terima kasih Siti, atas perhatianmu
pada Emak. Ada pengecualian kalau parah dan tidak bisa menunggu hingga esok
hari. Mudah-mudahan Allah melindungi niat tulusku untuk membantu meringankan beban
sakit.”
“Tidak mengapa, Mak. Masih bisa
ditahan kok.” Tanganku segera bekerja memijat kaki Ayu yang lebam dan mulai
bengkak. Ayu mulai menjerit kesakitan. Siti memegangi putri keakungannya dengan tabah.
Setelah Siti dan anaknya pergi,
segera aku masukkan uang pemberian mereka pada
dompet lusuh tempat menyimpan uang semesteran Harja. Alhamdulillah sedikit
bertambah. Mudah-mudahan uang ini akan memanggil temannya yang lain untuk
meramaikan dompet keberuntungan ini.
Nasi di atas tungku yang tadi
sejenak ditinggal telah matang. Segera menyusul tahu goreng dan sambal kacang
telah meramaikan meja makan keluarga yang telah mulai lapuk.
Rumah telah disapu bersih, oleh
istri Saleh. Beruntunglah aku mempunyai menantu yang sayang pada mertuanya. Cucian yang
lumayan banyak menyusul mendapat perhatian aku. Setelah beberapa saat
menyelesaikan pekerjaan rumah, aku segera berangkat. Berangkat memenuhi panggilan beberapa
pelanggan yang telah membuat janji. Walau tanpa catatan, aku telah mengurutkan mereka berdasar
jarak tempuh, keadaan yang lebih mendesak, serta pembuat janji temu yang lebih
dahulu. Walau terkadang hal itu bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Berangkat dalam keadaan puasa, dan telah menunaikan sholat dhuha. Hari berlalu dengan penuh doa dan harapan. Mudah-mudahan dompet lusuh itu bisa segera penuh. Sepeda pancal tua selalu berbunyi saat kukayuh seakan ikut berkeriyut menyanyikan lagu lara. Hari ini Harja tentu akan harap-harap cemas menantikan emaknya pulang. Akankah bisa membayar tepat waktu, atau harus menunda ujian akhir?
Teringat insiden kemarin malam.
Sepulang dari memijat beberapa pasien. Pulang dengan badan yang letih dan remuk
redam. Membayangkan lautan kapuk yang tentu terasa nikmat di
badan. Tiba-tiba terdengar suara yang sudah dua bulan ini selalu diam.
“Sudah merasa hebat ya Kau!? Bisa menguliahkan Harja?” hardik Sabik. Suami aku dengan penuh amarah. Entah kenapa
tadi tidak
melihat sosoknya yang duduk di sudut kegelapan dapur yang hanya ditemani lampu
kuning kecil. Mungkin karena rasa lapar hebat yang mendera perutku. Waktu
berbuka telah lama berlalu. aku diam tidak menjawab. Serba salah. Sudah beberapa waktu Kang
Sabik mendiamkanku. Dia merasa kecewa aku menjadi tukang pijat. Baginya
kesejahteraan keluarga tidak terlalu perlu diperjuangkan. Apalagi oleh seorang
istri.
Sebagai
tukang kayu dan buruh tani yang sekali-kali dapat panggilan kerja. Membuat kontribusiku sebagai tukang pijat sangat berarti
bagi perekonomian keluarga. Hal ini terkadang menjadi letupan yang cukup besar
bagi keluarga. Harga diri yang cukup tinggi, membuat Kang Sabik merasa terhina
melihat aku lebih banyak menghasilkan rupiah.
Seharusnya perasaan itu tidak ada. Sebagai istri dari Kang Sabik walaupun dari
hasil perjodohan orang tua, aku telah ikhlas menerimanya sebagi suami dengan penuh
pengabdian.
“Percuma Kau puasa kalau tidak
mendapat izin suami. Huh, sok pergi ke berjamaah di masjid. Perempuan itu yang
penting berbakti sama suami. Surga istri itu pada ridho suaminya, ngerti nggak?
Ya tak kira ngerti wong tak pernah ngaji dan sekolah. Dasar sok tahu.” Kang Sabik pergi
sambil memukul kursi dan menghentak-hentakkan kaki. Aku terdiam. Rasa lapar dan capek
terasa sirna. aku ambil piring, dan segera makan dalam diam. Tak terasa
air mata menetes di pipi.
“Ya Allah, apakah salah aku sebagai istri membantu suami? aku tidak mengharap Kang Sabik
berterima kasih. Hanya terlalu berlebihankah, jika aku ingin dihormati dan dianggap istri.
Tidak selalu dibentak-bentak dan disalahkan.”
Setelah sholat magrib, segera menghitung pendapatan hari ini.
“Ya Allah terimakasih, hanya kurang
limapuluh ribu. Tapi dari mana aku bisa mendapatkan uang sebesar itu pada malam ini? Tubuh aku sudah tidak sanggup lagi memijat
untuk malam ini.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.” Aku segera keluar kamar. Kang Sabik
sedang tidur-tiduran di kamar sebelah. Sudah beberapa tahun ini kami tidur
terpisah. Kuturuti saja permintaannya tersebut. Melewatinya, dan dia membuang muka.
Ya sudahlah. Suara Saleh menggema kembali memanggil-manggil. Saleh merasa
sungkan memasuki rumah kalau ada Kang Sabik. Saleh tidak ingin menyulut
kebencian bapaknya. Kang Sabik memusuhi Saleh yang bertempat tinggal persis di
sebelah rumah kami. Sejak Saleh memutuskan kuliah, Kang Sabik segera
mencari-cari alasan untuk membenci anak sulung kami.
“Mak kurang berapa SPP Harja?” tanya Saleh dengan lirih takut
terdengar oleh bapaknya. Aku tersenyum mendengar pertanyaannya yang penuh perhatian.
Pertanyaan yang sangat ingin aku dengar dari mulut kang Sabik.
“Jangan Nak. Kamu sudah cukup membantu Emak
dengan tidak merepotkan kami saat Kamu sekolah dulu.”
“Sudahlah, Mak terima saja.”
Tangannya meremas tanganku yang sebelumnya telah disisipi uang.
“Hasil cabeku lumayan,Mak. Hari ini
ada sisa rezeki.”
“Sri tidak akan marah, Mak. Malah dia yang menyuruhku segera mendatangi Emak, biar tidur dengan hati tenang.” Segera kupandangi teras rumah Saleh. Sri berdiri di kegelapan dengan tersenyum simpul. Mengangguk memberi isyarat agar aku menerimanya. Keluarga adalah tempat terbaik bagi kita untuk belajar tentang sebuah pengorbanan.
Aku selalu yakin bahwa Allah akan
membantu umatnya yang meminta dengan sepenuh keyakinan. Bila doa itu belum
dikabulkan. Tunggu saja, denga penuh harap dan cinta. Istiqomah menyebut
namanya. Mungkin suatu saat Allah ridho. Jadi aku bangga menyandang nama Yeye. Karena
setiap hari ada saja pelanggan yang memanggil dengan panggilan Mak yang berarti
ibu.
Saat esok tiba.
”Maaak, Mak Yeye.” Panggilan
merdu itu selalu kunantikan, bagai nyanyian merdu yang selalu kunantikan.
Tersenyum selalu menghadapi segala deraan hidup.
“Maaak..”
“Iyaaa!”
1 Komentar
Bagus banget cetitanya👍
BalasHapus