Setiap ada peringatan Hari Pendidikan Nasional, Hari Kebangkitan Nasional, Hari Sumpah Pemuda, Hari Pahlawan, atau Bulan Bahasa, salah satunya dimeriahkan dengan Baca Puisi atau Deklamasi Puisi. Kegiatan tersebut biasanya dalam bentuk lomba: Lomba Baca atau Deklamasi Puisi dalam dua bentuk yakni offline dan atau online.
Salah
satu puisi yang paling sering digunakan panitia lomba adalah puisi karya
Chairil Anwar. Sebenarnya apa rahasianya sehingga puisi Chairil Anwar banyak
dibacakan pada acara lomba baca dan deklamasi puisi? Nah, sangat tepat jika
salah satu puisi karyanya dikritik pada tulisan ini. Puisi dengan judul
terbanyak digunakan dalam lomba ada 7 besar yakni: Aku, Derai-Derai Cemara, Diponegoro,
Krawang-Bekasi, Sia-Sia, Senja di Pelabuhan Kecil, dan Doa.
Ketika
puisi-puisi tersebut dibacakan seolah ada saluran pelepasan emosi, pelepasan
hasrat, kerinduan, kebencian, ketakutan, keberanian, ingin berontak, dan
sebagainya. Puisi-puisi tersebut seibarat katalis dalam paduan rasa yang
kemudian bermuara pada kelegaan atau justru kesesakan. Ketika pun membaca atau
mendeklamasikan puisi-puisi tersebut seolah-olah adrenalin terpicu untuk
menggerakkan saraf-saraf motorik si pembacanya. Membacanya seolah memberikan
jalan ekspresi motorik dan warna wajah sekaligus memberikan atmosfer terkuaknya
sosok sang penyair.
Puisi-puisi
karya Chairil Anwar dianggap sebagai puisi pembaharu. Puisi yang merombak pakem
tatanan struktur puisi lama yang berima dan beritme. Puisi-puisi tersebut
seolah menjadi tukang jagal atas seluruh ciptaan puisi yang mendayu-dayu atau
melankolis pada zaman itu. Puisi-puisi tersebut adalah pasukan elit yang
mengkudeta kemapanan konstitusi perpuisian.
Bentuk
dan struktur puisi bebas yang dipelopori Chairil Anwar pula yang meringankan
beban pelajar. Mereka merasa terbantu dengan puisi bebas tawaran Chairil Anwar
sehingga ketika mendapatkan tugas membuat puisi, maka pilihan terbanyak bagi
mereka adalah membuat puisi bebas. Tidak perlu repot menghitung jumlah kata per
larik, tidak perlu menyamakan rima dan ritme, dan sebagainya.
Siapa
sebenarnya Chairil Anwar sebagai sosok individu? Apakah ia seorang nasionalis
atau komunis? Apakah ia seorang patriotik atau hanya katak dalam tempurung?
Apakah ia berlian dalam lumpur atau hanya seonggok batu di meja kristal?
Mengapa setenar itu puisinya? Mengapa ia menentukan pilihan sulit buat hidupnya?
Apakah ia seorang pengecut yang hanya lantang dalam barisan diksi? Ataukah ia
seorang jenius sejati yang tak mengizinkan orang lain menduakannya?
Mengapa
juga tiap tahun ada saja yang membangunkannya dengan peringatan-peringatan
khusus dan membacakan puisinya? Seistimewa apa ia? Apakah tanpa puisi ia tidak
akan seabadi ini? Apakah ia sebenarnya time traveller yang tahu masa depan
puisi sehingga ia jadi penghulu modernis puisi? Banyak pertanyaan-pertanyaan
yang jawabannya hanya misteri.
Mengingati
Chairil Anwar sudah 100 tahun lalu meninggalkan bumi, maka telaah jejaknya
salah satunya dapat ditelusur melalui telaah terhadap karya puisinya. Salah
satu puisinya yang menarik untuk diautopsi adalah: Aku (Maret 1943). Puisi yang
pernah ditolak untuk dimuat oleh para sastrawan seperti Armyn Pane dan HB
Jassin karena dianggap sangat individualis dan memendam api. Akhirnya puisi
tersebut kemudian dimuat di majalah Timur atas persetujuan Nur Sutan Iskandar.
Secara
garis besar, puisi-puisi karya Chairil Anwar mengandung letupan-letupan emosi,
seperti semangat patriotik, hasrat cinta, pengukuhan keberadaan diri,
kesendirian yang angkuh, dan kemarahan yang coba dibendung.
Dalam
karya yang lain, Chairil Anwar punya satu ciri khas lagi. Puisi karyanya
ditujukan ke seseorang. Misal puisi Doa, maka tujuan alamat puisinya untuk
Pemeluk Teguh. Puisi berjudul Nisan, untuk Nenekanda. Puisi berjudul Kenangan,
Untuk Karinah Moordjono. Kawanku dan Aku, ditujukan Kepada L.K. Bohang. Puisi
berjudul Hampa, ditujukan Kepada Sri. Puisi berjudul Cerita, ditujukan Kepada
Darmawidjaya bahkan ada satu puisi yang alamat puisinya menjadi judul yakni
Kepada Kawan, Cerita Buat Dien Tamaela juga Buat Nyonya N.
Chairil
Anwar juga menciptakan slogan di dalam puisinya. Misal Bung, Ayo Bung; Merdeka
atau mati, aku ini binatang jalang, maju, sekali berarti sudah itu mati, aku
ingin hidup 1000 tahun lagi, dan sebagainya. Slogan yang diciptakannya di dalam
puisi sangat mudah diingat walaupun sekali baca. Mungkin inilah salah satu
pesona yang ia buat dalam struktur puisinya.
Sebagaimana
diketahui, Chairil Anwar lahir di Medan, 26 Juli 1922 dan meninggal pada 28
April 1949 di Jakarta. Ia meninggal di usia muda dengan sekitar 96 karya
termasuk 70 puisi yang telah ia ciptakan semasa hidupnya yakni selama 27 tahun.
Tiga antologi karya Chairil Anwar yang
terkenal diterbitkan oleh Pustaka Rakyat. Ketiga antologi tersebut berjudul:
Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan
Tiga Menguak Takdir (1950).
Berdasarkan
hasil polling (angket) menggunakan aplikasi Voliz diperoleh urutah popularitas
dari karya-karnya puisinya pada data sebagai berikut. Aku (62,5%), Derai-Derai
Cemara (0%); Diponegoro (0%); Krawang-Bekasi (25%); Sia-Sia (4,1%); Senja di
Pelabuhan Kecil (8,3%) dan Doa (0%). Puisi Aku menempati posisi teratas yang
paling sering dikenal masyarakat dan paling sering digunakan dalam Lomba Baca
atau Deklamasi Puisi.
Mengapa
puisi Aku begitu istimewa? Dalam puisi Aku menyertakan keberanian Chairil Anwar
bagi pembacanya. Pembaca seolah menyatakan bahwa ketibaan atas kematiannya
alih-alih hidup yang abadi. Puisi dengan
simpanan dendam yang kuat, tekad yang baja untuk tunduk pada prinsip, pada
pilihan yang dibuat dan yang secara pribadi telah ditetapkan. Sekali dibuat,
pantang dilanggar. Keberanian untuk berhadapan dengan maut dan hidup abadi
bukanlah kontroversi, tapi merupakan substitusi dari keinginannya yang
terdalam.
Dalam
puisi Aku ia juga mengatakan bahwa dirinya penuh dosa dan hina. Tidak ada yang
akan merasa kehilangan, jika ia memilih mati. Ketika mati pun, ia juga tak
berharap ada iba atau hormat karena keabadian telah membayarnya lunas sebagai
kebahagiaan. Kita tidak tahu apakah ia bahagia dengan pilihan abadi itu di alam
sana. Sama dengan tidak tahunya pembaca atas takdirnya kelak. Semoga ia peroleh
kebahagiaan sejati. Aamiin.
Berikut
puisi larik demi larik puisi Aku secara lengkap.
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Kalau sampai waktuku
(ia seolah menjadwalkan kematiannya sendiri dengan caranya sendiri). Ku mau
tak seorang kan merayu.(ketika ia sudah memutuskan, maka makin kukuh ia
genggam). Tak perlu sedu sedan itu. (ia tak memerlukan rasa kasihan). Aku
ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang. (ia
paham dengan dirinya, ia sudah selesai dengan dirinya). Dari kumpulannya
terbuang; Biar peluru menembus kulitku; Aku tetap meradang menerjang; Luka dan
bisa kubawa berlari; Berlari; Hingga hilang pedih peri; Dan aku akan lebih tidak
peduli.
(diterpakan dengan badai sebesar apapun, ia tak akan
berubah pikiran). Aku mau hidup seribu tahun lagi. (kematian baginya
adalah kehidupan yang sebenarnya dan abadi).
Sepertinya ia memiliki kekasih (kekasih imajinati
bagi awam, tapi baginya adalah kekasih yang hanya dicapaikan dengan pengorbanan
yang paling besar yakni kematian). Apakah Tuhan yang dituju hatinya? Jika Tuhan
merupakan tujuan dari satu pilihan hidupnya, maka setimbang yang telah ia tulis
dalam Aku. Apakah Chairil Anwar sangat religius sehingga pilihan hidupnya
dianggapnya tepat tanpa harus bunuh diri, tapi tetap sampai ke keabadian?
Satu
puisi baginya sejuta kesulitan yang harus disyukuri. Satu napas yang ia punya
adalah sejuta pahit kehidupan yang harus ditelannya sehingga ia pernah berkata,
"Nantilah kalau aku sudah meninggal, mereka akan mengerti. Mereka akan
memujaku. Mereka akan mematungkan diriku." Puisi Aku adalah skenario atas
ucapannya bagi kematiannya sendiri dengan mengabadikannya menjadi Aku.
Satu
hal penting bahwa menurut Chairil Anwar, menulis satu puisi tidak dapat sekali
jadi. Setiap kata yang ditulis harus digali dan dikorek dengan
sedalam-dalamnya. Semua kata harus dipertimbangkan, dipilih, dihapus, dan
kadang-kadang dibuang, yang kemudian dikumpulkan lagi dengan kelahiran yang baru.
Dengan tidak hadirnya sosok yang sekaliber Chairil Anwar hingga detik ini, maka
simpulan sementara atas keabadian pada puisi Aku, juga pada puisi lain karena
dalam proses kreatifnya bahkan dalam seluruh hidupnya, ia melibatkan Tuhan, ia
bersama Tuhan, dan ia kembalikan kepada Tuhan semua yang ia puisikan. Bersama
Tuhan dengan pilihan diksi yang tak religi yang telah membuatnya abadi. (S. Herianto)
0 Komentar